SIANTAR, SENTERNEWS
Karena penerapan Peraturan Daerah (Perda) Tentang Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Siantar belum dipertegas, zona wilayah akhirnya mengambang. Dan, areal 406 Hektar yang masuk ke Kabupaten Simalungun, harus dikembalikan ke Kota Siantar.
Pernyataan itu disampaikan anggota DPRD Siantar, Andika Prayogi Sinaga dan Chairudin Lubis dari Komisi I DPRD Siantar pada Rapat Kerja dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Siantar, Jumat (18/07/2027).
Pada rapat yang dipimpin Ketua Komisi III, Cindira itu, Andika mengungkapkan bahwa penerapan RTRW harus jelas agar tidak menjadi polemik. Terutama terkait zona penataan kota. Misalnya, Zona Pemukiman, Zona Pendidikan, Zona Ekonomi dan Zona Industri.
“Ada rumah sakit yang masuk zona ekonomi, ada pusat perbelanjaan seperti Suzuya berdekatan dengan sekolah. Selain itu, pembangunan ring road juga rawan permasalahan karena berkaitan dengan ganti rugi,” kata Andika Prayogi
Karenanya pembangunan Kota Siantar perlu dikaji ulang. Khususnya terkait penataan kota.
Bahkan, saat ini bermunculan pasar pagi di sejumlah lokasi Kota Siantar. Karena situasi itu, pasar Horas dan pasar Dwikora atau Pajak Parluasan menjadi sepi dan kehilangan pembeli.
“Salah satu ikon kota Siantar adalah Pasar Horas dan Pajak Parluasan. Jangan sempat itu hilang. Karenanya, Bappeda kita minta harus aktif,” kata Andika Prayogi.
Kemudian, pembangunan menurut Politisi Partai Hanura tersebut harus memprioritaskan kepentingan masyarakat. Sehingga, tidak mengundang gejolak.
Sebelumnya, Chairudin Lubis juga menyinggung RTRW. Khususnya terkiat dengan pembebasan lahan PTPN. Kemudian, mempertanyakan sudah sejauh mana soal areal kota Siantar seluas 406 hektar yang masuk ke kabupaten Simalungun atau tentang tapal batas wilayah.
“Ada masyarakat yang semula membayar PBB ke Kota Siantar. Tetapi, setelah lahan kota Siantar masuk Kabupaten Simalungun, PBB justru dibayarkan ke Kabupaten Simalungun. Ini tentu harus diselesaikan dan Pemko harus mengembalikan lahan yang masuk ke Simalungun itu ke kota Siantar,” kata Chairuddin.
Menjawab berbagai pertanyaan dan pernyataan dari komisi III itu, Kepala Bappeda Kota Siantar, Dedi Idris Harahap mengatakan, terkait Perda RTRW memang sudah ada dikeluarkan dari Kementrian.
Namun, terkait masalah zona, penenapannya ke depan akan lebih konsisten karena sudah ada Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang akan disinkkronkan dengan investor.
“Kalau investor yang membangun tidak sesuai dengan zona, tidak akan kita keluarkan izin dan jangan membangun,” kata Kepala Bappeda.
Menyangkut tentang masuknya areal Kota Siantar ke Kabupaten Simalungun menurut Dedi Idris Harahap sudah diupayakan dengan menentukan titik kordinat. Bahkan, sudah beberapa kali dilakukan pertemuan dengan Pemkab Simalungun.
“Walikota semasa ibu Suanti sudah meneken penetapan titik koordinat. Tapi, Bupati Simalungun belum. Untuk itu, akan kembali dilakukan koordinasi dengan Pemkab Simalungun yang difasilitasi pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Menyangkut tentang pembebeasan lahan PPTPN untuk Tempat Pemakaman Umum dan pembangunan ring road terkenda karena PTPN 3 dan PTPN 4 harus lebih dulu menghapus asset masing-masing di Kementrian BUMN.
“Soal anggaran untuk ganti rugi lahan sudah tersedia. Tapi, baru bisa dicicil setelah ada penghapusan asset dari Kementrian BUMN,” jelas Dedi Idris.
Pada kesempatan tersebut, Komisi III minta kepada Bappeda untuk aktif melakukan komunikasi dengan pemerintah puat. Sehingga, pembangunan kota Siantar berjalan sesuai rencana dan tidak memiliki kendala berarti. (In)