SIANTAR, SENTER NEWS
Tugu Wahana Tata Nugraha yang berdiri megah di ujung Jalan Merdeka sebagai supremasi bahwa kota Siantar pernah meraih kota tertib lalulintas di Indonesia, tampaknya hanya simbol belaka. Karena, saat ini kondisi lalulintas tampak semraut.
Kesemrautan lalulintas itu berada di areal perkotaan seperti di Jalan Sutomo dan Jalan Medeka. Khususnya di sekitar Pasar Horas. Salah satu penyebab utama, karena banyak angkutan umum pedesaaan dari luar kota khususnya dari Kabupaten Simalungun masuk kota, meski itu dilarang.
Ironisnya, Pemko Siantar terkesan melakukan pembiaran apalagi ditemukan sejumlah pangkalan untuk angkutan pedesaan. Sementara, angkutan pedesaan tersebut seenaknya menurunkan dan menaikkan penumpang di daerah terlarang meskipun ada halte sebagai lokasi resmi menurunkan dan menaikkan penumpang.
Pantauan Senter News lokasi kemacetan lalulintas yang paling parah akibat keberadaan angkutan umum pedesaan dari Kabupaten Simalungun, ditemukan mulai dari depan RSUD Djasamen Saragih sampai simpang Jalan Imam Bonjol di belakang Pasar yang dijadikan sebagai pangkalan angkutan umum pedesaan.
Kemacetan juga ditemukan di Jalan Merdeka melewati simpang Jalan Wahidin menuju simpang Jalan Sutoyo di Jalan Merdeka. Persisnya di samping Pasar Horas dan juga dijadikan sebagai pangkalan untuk angkutan pedesaaan.
Karena kondisi tersebut, Kesemrautan lalulintas membuat para pengendara merasa begitu tidak nyaman. “Kalau kemacetan di Jalan Merdeka ini sudah biasa karena angkutan kota termasuk angkutan pedesaan dari Simalungun masuk ke pangkalan di Jalan Sutoyo itu,” ujar marga Saragih, seorang pedagang di tepi Jalan Merdeka, Kamis (26/1/2023).
Ketika kesemrautan lalulintas areal perkotaan yang disebabkana masuknya angkutan pedesaan itu dikonfirmasi kepada Kabit Dinas Perhubunggan Angkutan Darat, Sarifuddin Saragih didampingi Kepala Seksi Manajemen Lalu Lintas dan angkutan jalan, Tohom Lumbangaol, keduanya membenarkan bahwa angkutan pedesaan dilarang masuk ke inti kota Siantar.
“Angkutan pedesaan dilarang masuk ke inti kota karena tidak ada izin trayek. Artinya tidak ada izin dari Pemko angkutan pedesaaan masuk ke inti kota,” ujar Kepala Seksi Manajemen Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Tohom Lumbangaol.
Ironisnya, meski tidak ada izin , angkutan pedesaan seenaknya membuat pangkalan atau terminal-terminal kecil di inti kota seperti di sekitar Pasar Horas dan Dinas Perhubungan Kota Siantar mengaku tidak mampu melakukan tindakan tegas. Pasalnya, Pemko Siantar belum bisa menyediakan terminal Tipe C di setiap sisi perbatasan kota.
Lebih lanjut dikatakan, Dinas Perhubungan hanya melakukan teguran. Tidak bisa menindak karena yang melakukan tindakan di lapangan itu harusnya pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang berasal dari PNS PNS di Dinas Perhubungan sendiri.
“Terkait dengan PPNS yang melakukan tindakan di lapangan itu tidak ada pada kita (Dinas Perhubungan-red). Padahal, tahun lalu pernah diusulkan. Tapi, sekarang dicoret kembali. Sedangkan tahun 2022 memang sempat satu orang, M Sihotang tetapi sudah pensiun,” ujar Sarifuddin didampingi Tohom Lumban Gaol.
Sementara, terkait himbauan dari Dinas Perhubungan agar angkutan pedesaan tidak masuk ke inti kota dikatakan tidak dipindahkan para supir angkutan pedesaan tersebut. Salah satu alasan para supir angkutan pedesaan itu karena mengangkut anak sekolah.
“Kita hanya melakukan peneguran tapi para supir selalu berdalih untuk mengantar anak sekolah, pekerja dan pedagang di Pasar Horas. Karena itu seperti terjadi main kucing-kucingan,” ujar Sarifuddin.
Lebih lanjut dikatakan, dalam waktu dekat Dinas Perhubungan Kota Siantar akan melakukan pendataan dan perencanaan kerja. “Kita akan tata ulang dengan baik menunggu Terminal Tanjung Pinggir beroprerasi karena sekarang masih dalam perbaikan. Mungkin itu solusinya,” ujar Tohom mengakhiri. (Jr)