Catatan : Imran Nasution
Masa penjajahan Belanda dan Jepang sampai kemerdekaan RI, Pematangsiantar (Siantar-red) adalah kota penting dalam lembaran sejarah perjalanan Indonesia. Tapi, karena bukti diabaikan dan hanya segelintir yang perduli, sejarah itu bagai kehilangan jejak.
Sebelum Indonesia Merdeka, kota Siantar Sumatera Utara adalah kerajaan yang berkedudukan di pulau Holing (sekarang, Pamatang Kelurahan Simalungun). Dengan iklim sejuk hijau dan berbunga, pernah disebut “Paris van Sumatera”. Atau, kota kembar (Twin City ) “Paris van Java” Bandung yang disebut kota kembang.
Siantar dan Bandung pernah dikelilingi perkebunan teh nan hijau membentang sebagai kota peristrahatan pejabat Kolonial setelah mengurusi tanah jajahan. Bandung yang dibelah sungai Cikapundung memiliki alun-alun dan ada lapangan Gazebou. Siantar, dibelah sungai Bah Bolon dan dekat alun-alun (Taman Bunga), ada lapangan Simaritou (Sekarang lapangan H Adam Malik).
Karena ’barbar” penjajah, Kerajaan Nagur hilang dan diganti dengan pabrik minuman cap Badak yang kini tetap beroperasi dan pernah menjadi pesaing utama Cocacola. Kemudian, Raja Siantar, Sang Naualuh Damanik dinasti terakhir penentang penjajah diasingkan Kolonial tahun 1906 ke Bengkalis, Riau dan mangkat di tanah Melayu itu. Sekarang, makamnya tetap dirawat Pemkab setempat dan sering diziarahi warga Siantar- Simalungun.
Siantar tahun 1947 pernah sebagai ibukota Propinsi Sumatera dengan Gubernur T Muhammad Hasan. Kota pertama di luar Pulau Jawa mencetak Oeang Repoeblik Indonesia Proepinsi Soematra (ORIPS) bergambar Presiden Soekarno. Bertarih, 31 Maret 1947 dengan nilai nominal Rpl00, Rp50, Rpl dan tercatat sebagai koleksi mata uang dunia.
Percetakan ORIP saat itu gedung BRI yang sekarang masih di Jalan Merdeka dekat lapangan H Adam Malik. Kemudian, Gortap Sitompul sebagai pengelola percetakan menerima Bintang Jasa Utama dari Presiden RI SBY sesuai keputusan No.060/TK/2009.
Kemudian, ada peninggalan sejarah nyaris hilang bahkan hilang. Seperti makam tua di Pamatang. Tugu perjuangan di areal Taman Bunga dan terowongan di Siantar Hotel yang konon tembus sampai ke Pamatang. Kemudian, jam warisan Belanda di balaikota yang tak berfungsi.
Monumen Kesaktian Pancasila di Jalan Sang Naualuh-Sutomo samping Makam Pahlawan diganti tugu Adipura. Padahal, di lokasi itu pernah peletakan batu pertama pendirian monumen Sang Naualuh. Namun, gagal dan pindah ke Taman Bunga. Kemudian, rencananya pindah lagi ke Lapangan H Adam Malik. Namun, setelah dilakukan peletakan batu pertama malah gagal lagi.
Hal lain dan unik, becak BSA warisan Tentera Sekutu Perang Dunia II. Meski pabriknya di Bringham Inggris tutup, sepeda motor besar antik yang jumlahnya sekarang semakin jauh berkurang bahkan diperkirakan akan musnah kalau tidak ada pelestarian, masih lincah mengitari jalan menurun dan mendaki sebagai khas topografi Siantar seluas 79,97 kilometer.
Sementara, soal karakteristik Kota Siantar sebagai kota bersejarah, di sekitar lapangan parkir pariwisata Jalan Merdeka dekat Taman Bunga atau lapangan Merdeka yang berhadapan dengan balaikota, ada Prasasti yang dibangun tahun 1996.
Prasasti yang dibangun 29 Januari 1996 itu bertuliskan, “Tanggal 27 September 1945 di sekitar ini terjadi peristiwa upacara penggerekan/pengibaran bendera merah putih yang pertama di Pematang Siantar/Simalungun oleh Pemuda-pemuda dan kekuatan rakyat Siantar/Simalungun. Jadi, kalau di Jakarta Merah Putih berkibar 17 Agustus 1945, di Siantar justru 27 September 1945.
*SIANTAR MAN*
Siantar memiliki karakteristik khas yang sangat menghargai perbedaan pendapat. Dengan watak yang tegas dan lugas, tercatat sejumlah “Siantarman” sebagai tokoh penting tingkat nasional bahkan internasional.
Diantaranya, Rudy Kousbroek, penulis dan eseis Belanda. Wakil Presiden, Adam Malik yang sebelumnya juru bicara Indonesia di PBB. Tokoh Bulutangkis, Sudirman namanya menjadi lambing ssupremasi kejuaraan badiminton se dunia.
Ada Syamsul Anwar (petinju) pertama Indonesia juara dunia. Lo Lieh bintang film Hongkong era 70-an dan Mantan Gubernur BI, Arifin Siregar. Samsir Siregar mantan Ketua BIN. Kemudian para politisi seperti Sabam Sirait, Mangara Siahaan yang juga artis 80-an.
Kalangan pengusaha, di antaranya Martua Sitorus masuk jajaran lima besar terkaya se Indonesia. Pendiri perusahaan “Siantar Top” di Jawa Barat. Kemudian, ada penyanyi legendaris, Edi Siltonga dan Gitaris Zamrud, Azis Siagian dan banyak lagi sebagai “Siantarman”.
Kota Siantar adalah simbol keberagaman Suku, Agama, Ras yang damai berdampingan. Itu tergambar dari nama kelurahan atau dulu disebut kampung. Seperti Kampung Kristen, Melayu, Martoba, Banten, Banjar, Karo, Kampung Keling (Tamil) dan Pajak Hongkong.
Secara fisik, Siantar dulu dan sekarang jelas berubah seiring pertambahan penduduk mencapai 300 ribu jiwa. Tapi, tidak perlu disesalkan mengapa ada 20 Walikota sejak 1956 sampai 2021 belum tergerak membuat buku sejarah kota Siantar.
Dengan adanya buku sejarah, puing-puing atau bukti sejarah yang banyak terendam dan belum banyak diketahui para generasi muda , tentu dapat dikumpulkan kembali untuk menjadikan Siantar sebagai kota bersejarah. Jangan pernah melupakan sejarah! (***)