SIANTAR, SENTER NEWS
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 65/PUU-XXI/2023 pada 15 Agustus 2023 lalu mengabulkan gugatan terhadap UU No 7 Tahun 2017 yang memperbolehkah kampanye di lingkungan kampus dapat merusak sistim pendidikan nasional.
Pernyataan itu disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (DPC Permahi) Cabang Pematang Siantar, Michael Hutajulu, Jumat (25/8/2023).
Dikatakan, dikabulkannya gugatan Ong Yenni dan Handrey Mantiri itu, sebelum putusan MK, Pasal 280 ayat 1 huruf h menyatakan, “Pelaksana, peserta dan tim kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”.
Penjelasan putusan MK itu, fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta Pemilu hadir tanpa atribut kampanye atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan.
“MK mengetok palu putusan, berarti MK hanya melarang secara total kampanye di tempat ibadah. Namun tetap memperbolehkan kampanye di tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah,” sebut Michael.
Putusan MK dimaksud dikatakan menghapus bagian penjelasan Pasal 280 ayat 1 huruf h UU Pemilu. Pasal dimaksud juga direvisi menjadi, “Pelaksana peserta dan tim kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye Pemilu”.
Hasil kajian Permahi, putusan MK saat ini memang belum mendapatkan kejanggalan fatal atau maladministrasi. Namun yang menjadi keresahan, dampaknya dapat merusak dunia pendidikan di kampus dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Karenanya, Permahi Siantar menyampaikan kritik. Pertama MK harus lebih dulu menerima aspirasi berbagai elemen. Sebab menjelang Pemilu 2024 saat ini, dapat membuat situasi dan kondisi perpolitikan menjadi panas.
“Untuk itu Permahi Siantar kesal atas putusan Hakim Mahkamah Konstitusi yang telah memutuskan putusan kampanye diperbolehkan di tempat pendidikan,” tegasnya.
Kedua, Permahi Siantar mengkritik, setiap Lldikti di tiap-tiap wilayah harus berperan untuk mengawasi Perguruan Tinggi agar tidak menyalahgunakan fungsi Perguruan Tinggi tersebut sesuai amanat UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Ketiga, Yayasan atau Rektorat di Perguruan Tinggi harus bersih, adil, terbuka serta berperan untuk mengawasi setiap dosen-dosen. Masalahnya, masih ada saja ada dosen mencari keuntungan demi kepentingan pribadi.
Maka perlu adanya pengawasan karena berpengaruh kepada mahasiswa yang menerima beasiswa atau bantuan dari pemerintah. Sehingga mahasiswa bakal mendapatkan ajakan dari pihak kampus.
“Contohnya, pilih dia ya, kalau tidak milih dia, tidak aman nilaimu dan beasiswamu bisa dicabut. Itulah yang berpotensi akan terjadi. Karenanya, itu sebuah intimidasi kepada mahasiswa dimaksud,” tegas Ketua DPC Permahi Cabang Siantar itu lagi.
Lebih lanjut dijelaskan, setiap Perguruan Tinggi sejatinya harus sesuai mutu tugas dan tanggung jawab yang telah diatur dalam UU dan turunan dari UU tersebut. Yakni, Peraturan (Statuta) Perguruan Tinggi. Jangan sampai pihak kampus menyalahgunakan sistem pendidikan hanya demi kepentingan pribadi saat calon-calon legislatif, eksekutif berkampanye di kampus.
Permahi mengingatkan, dalam pasal 421 KUHP berbunyi, ” Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan, memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan,” ujar Michael Hutajulu.
Terakhir, seluruh elemen mahasiswa/i di seluruh Indonesia diminta untuk tidak terpengaruh dengan kampanye-kampanye yang akan dilakukan di kampus. Tidak perlu takut dan khawatir jika ada pihak kampus melakukan ajakan apalagi intimidasi.
“Langsung saja segera lapor kepihak Organisasi Internal bahkan kepihak yang berwajib atau penegak hukum,” tegas Michael Hutajulu mengakhiri. (In)