SIANTAR,SENTER NEWS
Aktifitas perekonomian di Pasar Tradisional seperti Pasar Horas dan Pasar Dwikora (Pajak Parluasan) Kota Siantar semakin sepi dan terpuruk. Sehingga, para pedagang mengeluh dan banyak menutup kiosnya.
Penutupan kios malah berlangsung sampai setahun bahkan ada dua tahun dan tidak membayar sewa kios. Akibatnya, hak sewa sebanyak 67 kios di Pajak Parluasan ditarik Perusahaan Daerah Pasar Horas Jaya (PDPHJ).
Diinformasikan, besaran harga sewa setiap kios yang sudah memiliki Kartu Ijin Pedagang (KIP) berkisar Rp 200 ribu per tahun. Ditambah kontribusi bulanan paling besar Rp 228 ribu.
Direktur Operasional PD PHJ, Evra Saskia Damanik mengatakan, sebelum pembayaran sewa kios ditarik, para pemilik KIP sudah tiga kali ditegor melalui surat. “Karena surat tidak diindahkan, kita terpaksa melakukan penarikan hak sewa,” katanya, Minggu (8/10/21023).
Ditegaskan, pemilik KIP tidak diperbolehkan menyewakan apalagi menjual kios kepada orang lain. Namun bagi yang hak sewanya sudah ditarik, tetap diberi dispensasi menempati kios kembali apabila membayar tunggakan ditambah dengan uang denda.
Evra membenarkan pengunjung pasar tradisional itu semakin berkurang. Terutama pedagang pakaian dan perlengkapan anak sekolah. Pembeli biasanya ramai menjelang Natal dan Tahun Baru atau Hari Raya. Sedangkan perengkapan anak sekolah ramai saat memasuki tahun ajaran baru.
Lebih lanjut ditegaskan, problema lain yang terjadi di lingkungan pasar tradisional itu, ada pedagang sudah memiliki kios di bagian dalam, malah berjualan ke luar seperti di trotoar atau kaki lima.
Ketika awak media ini mengatakan bahwa fakta itu terjadi karena banyak pedagang kaki lima dibiarkan sehingga pembeli enggan berbelanja ke dalam, Evra membenarkannya. Bahkan, kios di bagian dalam dijadikan gudang penyimpanan barang.
“Karena itulah, kita sedang melakukan penertiban terhadap pedagang kaki lima meski itu tidak mudah. Apalagi ada pedagang kaki lima mengambil lapak di luar ketentuan,” ujarnya.
Pantauan di Pajak Parluasan, aktifitas jual beli hanya ramai mulai jam 05.00 Wib sampai memasuki jam 09.00 Wib lewat. Itupun hanya untuk transaksi jual beli hasil pertanian seperti sayur mayur, cabe, tomat dan lainnya. Demikian juga penjual ikan basah dan daging ayam.
Setelah di atas jam 10.00 Wib, pedagang lebih banyak diam. Bahkan, khusus penjual sandang seperti pakaian, sepatu, pakaian bekas atau roger dan lainnya, ada mengaku belum buka dasar sampai jam 12.00 Wib.
“Tengok aja lah, banyak kios yang tutup. Tapi kek mana tidak tutup, jualan juga sepi. Aku saja baru buka dasar satu,” kata boru Marpaung, pedagang pakaian bekas atau roger di Pajak Parluasan sekira jam 12.00 Wib.
Tak jauh beda dengan pedagang di Pasar Horas. Para pedagang pakaian dan non pangan lainnya. Dikatakan, faktor sepinya pembeli karena semakin ramainya pedagang melalui online. Bahkan, pernyataan itu juga disampaikan seorang pedagang buah-buahan kepada Wali Kota saat turun ke Pasar Horas, Jumat (6/10/2023).
“Ibu Wali Kota, pembeli sudah sepi. Inilah, semua sudah ada dijual melalui online,” kata pedagang perempuan yang membuka lapaknya di Balairung Pasar Horas. Namun, Wali Kota tidak memberi tanggapan kecuali senyum dan menyatakan agar tetap semangat.
Sepinya pengunjung ke pasar tradisional seperti Pasar Dwikora maupun Pasar Horas, juga dipengaruhi dengan kondisi yang kumuh dan becek. Belum lagi soal copet yang selalu mengintai. Karenanya, pihak PD PHJ diharap jangan hanya memikirkan soal retribusi atau sewa kios. Tetapi, harus memikirkan bagaimana pengunjung merasa nyaman untuk berbelanja.
“Persaingan ekonomi di zaman sekarang memang begitu ketat. Tapi, faktor sarana dan prasarana di Pasar Horas dan Pasar Dwikora harus menjadi perhatian,” kata anggota DPRD Siatar, Ferry SP Sinamo dari Komisi II. (In)