Indonesia dalam beberapa hari terakhir diguncang gelombang demonstrasi besar yang merata di berbagai wilayah. Aksi yang bermula dari penyampaian pendapat berubah menjadi kerusuhan, penjarahan, perusakan fasilitas umum, hingga bentrokan dengan aparat.
Tidak berhenti di situ, laporan penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat serta dugaan keterlibatan unsur intelijen menambah lapisan masalah yang mengkhawatirkan.
Dalam negara hukum, setiap pihak wajib tunduk pada aturan. Demonstrasi dijamin oleh konstitusi dan instrumen hak asasi manusia internasional, sehingga penyampaian aspirasi di ruang publik adalah hak yang sah.
Namun, kekerasan dan perusakan jelas melampaui batas hukum. Sama halnya, tindakan represif dan penyalahgunaan kewenangan aparat bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga meruntuhkan legitimasi negara. Dua-duanya merugikan masyarakat luas dan menggerus kepercayaan publik terhadap demokrasi.
Kekeliruan terbesar adalah ketika negara hanya memandang demonstrasi sebagai ancaman ketertiban, bukan sebagai alarm yang menandakan adanya masalah substantif di tengah rakyat.
Gelombang massa tidak muncul dari ruang hampa, ia lahir dari akumulasi kekecewaan, ketidakpuasan, dan minimnya ruang dialog. Maka, menekan demonstrasi dengan kekuatan semata justru hanya memperkuat api perlawanan.
Arah yang harus ditempuh jelas, pemerintah dan pengambil kebijakan harus berani mendengarkan. Dialog terbuka dan inklusif, transparansi dalam pengambilan keputusan, serta penyelesaian substansi persoalan yang menjadi akar protes adalah jalan keluar yang lebih efektif daripada kekerasan.
Dengan cara itu, aspirasi rakyat tidak lagi dipendam di jalanan, tetapi masuk ke dalam kanal kebijakan.
Di sisi lain, aparat keamanan mesti kembali ke prinsip dasar melindungi, bukan menakut-nakuti. Penegakan hukum harus dijalankan secara adil terhadap semua pihak.
Pelaku kekerasan sipil perlu ditindak sesuai hukum, tetapi aparat yang melanggar prosedur atau menggunakan kekerasan berlebihan juga harus diproses dengan standar yang sama.
Tanpa keadilan yang setara, wibawa hukum hanya akan menjadi slogan kosong.
Demokrasi Indonesia akan terus diuji oleh dinamika seperti ini. Pertanyaannya bukan sekadar bagaimana menghindari demonstrasi besar dalam dua hari mendatang, melainkan bagaimana membangun tata kelola politik yang sehat, menghormati hukum, dan menempatkan rakyat sebagai subjek utama.
Hanya dengan demikian spiral kekerasan dapat dihentikan, dan kepercayaan masyarakat terhadap negara bisa pulih. (Penulis: Roy Marsen Simarmata MH /Praktisi Hukum)