SIANTAR, SENTER NEWS
Kenaikan harga beras yang sudah berlangsung tiga minggu terakhir tenyata tidak turut dinikmati petani padi sawah. Pasalnya, kenaikan tersebut, tidak diiringi dengan kenaikan harga gabah yang saat ini dinilai masih tergolong rendah.
“Wah, kenaikan harga beras tidak membuat petani merasa gembira karena harga gabah dari hasil panen petani masih tergolong rendah,” ujar Sabungan Tampubolon sebagai Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Mekar Nauli, Kecamatan Siantar Selatan, Kota Siantar, Kamis (19/1/2023).
Dijelaskan, saat ini harga gabah basah yang dijual petani kepada agen yang datang langsung ke areal persawahan setelah selesai panen per Kg hanya Rp 4.500. Idealnya harga gabah paling rendah sekitar Rp 5.000. Sehingga, petani mendapat keuntungan yang memadai.
Tampubolon juga menjelaskan, kenaikan harga beras tersebut dikatakan cendrung hanya menguntung para saudagar. Sementara, problema petani bukan hanya soal rendahnya harga gabah. Lebih dari itu juga terkait dengan mahalnya harga pupuk dan obat-obatan.
Kemudian, masalah hama yang menyerang padi sawah seperti saat petani memasuki masa panen beberapa waktu lalu, petani dikatakan mengalami kerugian karena hanya sekitar 30 persen yang berhasil. Padahal, idealnya hasil panen minimal 5 ton per hektar.
“Kalau soal pupuk bersubsidi dari pemerintah tidak bisa diharapkan karena jumlahnya terbatas. Jadi, kita terpaksa harus membeli pupuk non subsidi yang harganya mahal apalagi harga obat-obatan juga mahal. Jadi, kalau harga gabah dinaikkan, petani tentu bisa terbantu atau tidak terlalu berat untuk mengelola pertanian padi sawah,” ujar Tampubolon lagi.
Terkait dengan keberadaan Badan Urusan Logistik (Bulog) dikatakan tidak begitu berarti bagi petani. Bahkan, petani malah enggan menjual gabah kepada Bulog karena harganya malah lebih rendah dibanding dengan harga yang ditetapkan para agen.
“Bagaimana kita mau menjual gabah kepada Bulog karena harganya lebih rendah. Sedangkan kepada agen, selain diambil langsung dari sawah selesai panen, harganya juga lebih tinggi,” ujar Sabungan Tampubolon yang juga Ketua Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A) Mekar Nauli.
Terkait dengan beras impor yang masuk ke Indonesia dan itu lebih banyak berasal dari Thailand, dikatakan tidak harus terjadi kalau petani memang dapat mengelola sawah dengan baik dan pemerintah memperhatikan nasib petani sehingga hasil panen memang memuaskan.
“Kalau nasib kita petani padi sawah ini memprihatinkan. Tapi, beginilah, mau tidak mau kita harus bertahan. Karena mengelola pertanian padi sawah tidak lagi begitu menjanjikan, sawah banyak berubah fungsi menjadi lahan kering menanam tanaman lain seperti palawija,” ujar Tampubolon.
Terpisah, Ali Akbar Siregar sebagai Kadis Pertanian dan Tanaman Pangan Kota Siantar mengatakan, hasil panen padi sawah seluas 1.371 hektar di kota Siantar hanya mampu memenuhi sekitar 30 persen kebutuhan beras dari Kota Siantar. Sehingga, beras dari luar daerah memang masih sangat dibutuhkan.
“Kalau soal rendahnya harga gabah yang ditentukan Bulog, itu kebijakan pemerintah dan wajar petani enggan menjual gabah kepada Bulog karena harga dari para agen atau saudagar yang langsung mengambil gabah dari petani memang lebih tinggi,” ujarnya singkat.
Sementara, soal kenaikan harga beras terjadi secara nasional. Bahkan, di Kota Siantar, masyarakat menengah ke bawah banyak mengeluh. Namun, karena sudah menjadi kebutuhan pokok, terpaksa harus dibeli.
“Kenaikan harga beras sekitar Rp 1000 per kilogram jelas membuat biaya keluarga saya yang berpenghasilan kecil menjadi semakin berat. Tapi, apa mau dibilang,” ujar Naini ibu rumah tangga warga Kelurahan Tomuan, Kecamatan Siantar Timur yang biasanya membeli beras Rp 105 ribu untuk ukuran 20 Kg naik menjadi Rp 120 ribu.
Sementara, sejumlah pedagang eceran mengatakan, kenaikan harga beras terjadi karena harga beli naik” Kita beli harganya naik, jadi kita jual eceran juga naik. Sampai kapan harga beras kembali stabil, saya kurang tau,” ujar Tie, pedagang kebutuhan pokok di Kelurahan Tomuan, kecamatan Siantar Timur. (In)