SIANTAR SENTERNEWS
Kebijakan Dinas Pendidikan Kota Siantar menerapkan sistem lima hari sekolah menuai sorotan dari Ketua Majelis Alumni Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (NU) Kota Siantar, Yoki O Aritonang SH.
Masaalahnya, penerapan lima hari sekolah itu dinilai berpotensi merusak ekosistem pendidikan keagamaan, sosial, dan karakter yang biasanya didapat dari Madrasah Diniyah dan sekolah agama lainnya di sore seusai sekolah umum.
“Seharusnya Dinas Pendidikan Kota Pematangsiantar sebelum membuat kebijakan harus melihat dari aspek manfaat dan madaratnya,” kata Yoki O Aritonang SH, Jumat (25/07/2025)/
Dijelaskan juga, landasan sosiologisnya, di Kota siantar mempunyai sekian banyak Madrasah Diniyah dan TPQ yang kemudian kalau Full Day School, lima hari sekolah dan sepanjang hari dilaksanakan, pendidikan karakter dan pendidikan keagamaan dasar yang tawasuth i’tidal moderat tidak akan menjadi maksimal atau terancam.
Kemudian, masyarakat di Kota siantar menurutnya sangat menggantungkan pendidikan agama anak-anaknya melalui Madrasah Diniyah, TPQ, dan kegiatan keagamaan sore hari di berbagai kelurahan.
“Sistem belajar enam hari sekolah yang telah berjalan selama ini memungkinkan anak-anak untuk mengakses pendidikan agama nonformal setelah pulang sekolah.,” katanya lagi.
Dengan diberlakukannya sistem lima hari sekolah, otomatis menambah durasi jam belajar sampai sore. Karena itu, anak-anak akan kehilangan waktu belajar agama secara informal di madrasah-madrasah dan sekolah agama lain yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat.
Salah satu kekhawatiran utama Majelis Alumni Ikatan Pelajar NU Kota Siantar diakatakan, sistem lima hari sekolah secara perlahan mendorong proses sekularisasi pendidikan.
Ketika pendidikan agama hanya diberikan secara formal di sekolah dalam waktu yang sangat terbatas, maka ruang-ruang pembentukan spiritualitas dan adab akan mengecil. Anak-anak hanya akan menerima agama sebagai mata pelajaran, bukan sebagai pengalaman hidup yang menyentuh hati.
Penolakan Majelis Alumni Ikatan Pelajar NU Kota Siantar terhadap kebijakan lima hari sekolah dikatakan bentuk keprihatinan terhadap arah pendidikan di Kota Siantar karena mengabaikan aspek moral dan keagamaan di tingkat akar rumput.
“Pemerintah perlu menyadari bahwa pendidikan bukan hanya soal efisiensi jam belajar. Tetapi juga tentang mewariskan nilai, membentuk akhlak, dan memperkuat spiritualitas bangsa,” ujar Yoki O Aritonang SH.
Ditergaskan juga, penolakan terhadap lima hari sekolah adalah bentuk tanggung jawab bersama terhadap masa depan anak-anak yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual. Tetapi juga memiliki kematangan di bidang spiritual dan sosial. (In)