SIANTAR, SENTERNEWS
Areal seluas 406 hektar yang masuk ke Kabupaten Simalungun ternyata tidak kembali ke Siantar. Padahal, anggaran untuk pembangunan pada sepuluh tahun terakhir sudah habis dan penduduknya masih memiliki KTP Siantar.
Fakta itu tertuang dalam Peraturan Mentri Dalam Negeri (Permendagri) No 23 Tahun 2022. Tentang Batas Daerah Kabupaten Simalungun dengan Kota Pematang Siantar. Tertanggal 26 Desember 2022 yang ditandatangani Menteri Dalam Negeri RI, Muhammad Tito Karnavian.
Sementara, saat rapat paripurna pembahasan Ranperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Lambang Daerah, fakta itu menjadi hal yang langsung dipertanyakan kepada Wali Kota Siantar, dr Susanti Dewayani Sp A, Senin (16/10/2023).
Pasalnya, hanya Ranperda Pajak Daerah dan Retibusi Daerah serta Lambang Daerah yang diajukan untuk dibahas menjadi Peraturan Daerah (Perda). Sementara pembahasan Ranperda RTRW sudah tertunda sejak dua tahun tidak diajukan untuk dibahas.
Masalah itu disampaikan anggota DPRD Siantar, Daud Simanjuntak melalui intrupsi pada rapat paripurna kepada pimpinan rapat, Ketua DPRD Siantar Timbul Marganda Lingga yang duduk berdampingan dengan Wali Kota dr Susanti Dewayani SpA
“Sekarang sudah ada Permendagri bahwa areal Kota Siantar berkurang 406 hektar. Padahal selama dua tahun ini, diberikan waktu kepada Pemko agar mengembalikan lahan dimaksud,” ujar Daud Simanjuntak.
Menanggapi intrupsi tersebut, Timbul Marganda langsung mempersilahkan Wali Kota untuk menjawabnya. Lantas, dengan singkat Wali Kota menyatakan akan membahasnya pada pertemuan selanjutnya.
Meski Timbul Marganda setuju akan dibahas pada kesempatan selanjutnya, soal RTRW dikatakan merupakan rekomendasi DPRD Siantar kepada Pemko untuk dibahas. “Pada rapat sebelumnya Pemko menyatakan punya komitmen mengajukan Ranperda RTRW sebelum tahun 2023 berakhir untuk itu kita tunggu agar segera dibahas,” kata Timbul Marganda.
Usai rapat paripurna, Daud Simanjuntak yang dikonfirmasi didampingi Ilhamsyah Sinaga mengatakan, selama dua tahun terakhir, Pemko lalai bahkan malas mengurusi soal tapal batas RTRW yang berkaitan dengan 406 hektar tersebut. Sehingga, permasalahan yang semula itu tergolong kecil alkhirnya menjadi besar.
Dijelaskan, ketika Permendagri sudah terbit dan 406 lahan kota Siantar pindah ke Kabupaten Simalungun, soal penduduk yang memiliki KTP Kota Siantar menjadi masalah pada Pemilu 22024 mendatang. Kemudian, bermasalah juga untuk pengurusan sertifikat. Masalah juga soal pembangunan yang dilakukan Pemko Siantar menggunakan APBD Siantar di wilayah yang masuk ke Kabupaten Simalungun.
“Jangan karena keteledoran Pemko, kita ikut mengesahkan? Saya tidak mau. Pertanggungjawaban APBD Siantar yang sudah dikucurkan di sana bagaimana? Karena masuk Simalungun tanpa ada upaya mengembalikan,” kata Daud.
“Kita tidak mau bertanggungjawab soal berkurangnya areal kota Siantar ke Simalungun yang juga turut bergantinya warga Kota Siantar ke Kabupaten Simalungun,” kata Daud.
Sementara, Ilhamsyah Sinaga mengatakan, permasalahan soal tidak dibahasnya RTRW yang sempat diajukan ke DPRD Siantar beberapa waktu lalu karena DPRD Siantar tidak ingin areal kota Siantar seluas 406 hektar pindah ke Kabupaten Simalungun.
“Saya menilai, selama ini Pemko Siantar seolah-olah tertutup dan ini menimbulkan tandatanya, ada apa?” katanya.
BERJUANG SECARA POLITIS
Terpisah, Astrounout Nainggolan berpendapat, permasalahan hilangnya 406 hektar lahan kota Siantar itu tidak semata kesalahan Pemko Siatar. Tetapi termasuk kelengahan DPRD Siantar. Karena, Pemko telah selesai melakukan pengukuran secara teknis tentang tapal batas soal 406 hektar yang dipermasalahkan. Karena Permendagri sudah terbit, soal lahan 406 hektar sudah final masuk Kabupaten Simalungun.
“Harusnya DPRD hadir dalam persetujuan Substantif beberapa waktu lalu di Kemendagri. Tapi, nyatanya tidak hadir walaupun sudah ad undangan. Sehingga diketok di sana tanpa dihadiri DPRD,” kata Astronout.
Dijelaskan, Selasa (17/10/2023) DPRD Siantar diundang menghadiri pembahasan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) di Kementrian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN). “Saya tidak tau siapa dari DPRD menghadirinya,” imbuhnya .
Dikatakan, RDTR berkaitan dengan RTRW. Hanya saja, soal 406 hektar dikatakan tetap masih bisa diperjuangan melalui jalur politik. “Kalau peduli dengan Siantar, bisa diperjuangkan secara politis dengan menyurati Komisi II DPR RI,” imbuhnya.
Ketua DPRD Siantar Timbul Marganda Lingga mengatakan, soal surat dari Kementerian ATR/BPN menurutnya begitu mendadak. Tiba, Minggu (15/10/2023) sore dan berjarak sehari dilakukan pertemuan, Selasa (17/10/21023).
“Surat itu seperti tidak punya etika. Untuk itu, kita belum mentukan siap yang berangkat,” ujarnya sembari mengatakan bahwa rencana pembahasan Ranperda RTRW akan dilakukan setelah pengesahan Ranperda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Lambang Daerah disahkan menjadi Perda. (In)