KERAGU-raguan warga kota Siantar terkait pembangunan stadion Sang Naualuh di Kelurahan Suka Dame, Kecamatan Siantar Timur, akan bermasalah, terbukti. Karena, kondisinya saat ini hancur-hancuran. Dan, anggaran mencapai Rp 20 miliar, “hanyut ke laut”.
Keberadaan stadion sekarang mungkin layak disebut sebagai lokasi tempat para hantu berpesta pora pada malam Jumat Kliwon diiringi hujan gerimis. Bahkan, beberapa tahun lalu pengedar Narkoba pernah diamankan dari lokasi lengkap dengan sejumlah barang bukti.
Menurut sejarah, sejak era Kolonial Belanda sampai tahun 1990 ke bawah, stadion Sang Naualuh yang sebelumnya bernama Stadion Martoba sebagai base camp Persatuan Sepakola Siantar (Persesi) itu, merupakan stadion kebangaan warga Kota Siantar.
Selain menjadi ajang pertandingan antar club lokal melalui kompetisi Persesi, juga lokasi merumputnya Persesi menjajal kesebelasan luar daerah dan tingkat nasional. Termasuk kesebelasan luar negeri yang bertandang setelah mengikuti Mara Halim Cup era 80-an.
Kalau Persesi bertanding, antusias pecinta sikulit bundar begitu membeludak. Jangankan tribun terbuka terbuat dari semen yang hanya beratapkan langit, kalau tiket habis dan tak bisa masuk, pepohonan tinggi yang mengelilingi luar stadion, malah dipanjat hanya untuk menonton. Sehingga, waktu itu ada istilah, ”pohon berbuah manusia”.
Karena sepakbola Siantar begitu bergairah, sejumlah pemain dari Kota Siantar ternyata cukup menonjol dan pada masanya, ada beberapa yang berhasil memperkuat klub elite tingkat nasional. Bahkan bergabung di PSSI dengan menggunakan kosutm berlambang garuda. Di antaranya, Ipong Silalahi, Bogor Siregar dan Lindung Siregar. Sedangkan Rico Simajuntak pemain Persija sekarang, lahir saat Persesi mati suri dan akhirnya nekad hijrah ke daerah lain.
Kembali kepada kondisi stadion Sang Naualuh yang saat ini hancur-hancuran karena material berat seperti tiang baja dan atap seng berbahan alumunium yang tinggi, lenyap dicuri. Kosen jendela, pintu ruang ganti, WC dan dinding pembatas dari batu bata, juga dipereteli turut tak berbekas.
Kemudian, kalau ditelaah pembangunan mulai tahun 2017, ada dana sekitar Rp 11 miliar lebih digunakan membangun tribun stadion. Kemudian, karena masih hanya berbentuk kontruksi, tahun 2018 ditambah lagi sekitar Rp 6 miliar.
Namun, dengan dana Rp 16 miliar untuk membangun tribun ternyata belum cukup . Karena stadion tetap belum bisa difungsikan, DPRD Siantar mulai mengkritisi. Terutama soal material yang berhilangan karena ketiadan pengamanan. Apalagi pintu stadion di tepi Jalan Stadion terbuka lebar, membuka peluang keluar masuk para maling leluasa beraksi.
Meski pembangunan stadion dikatakan salah perencanaan karena harusnya lebih dulu dibangun lapangan. DPRD Siantar akhirnya setuju menampung anggaran APBD 2021 sekitar Rp 2 miliar lagi untuk pembangunan tembok, drainase dan lapangan. Dana tersebut juga ditambah untuk biaya pengamanan.
Tujuan membangun tembok agar maling tidak semakin leluasa mempreteli berbagai material untuk dijual ke tukang botot. Pembangunan drainase agar air tidak menggenang seiring dengan pembangunan lapangan rumput. Sehingga awal tahun 2022 lapangan bisa difungsikan apalagi gawang juga sudah berdiri.
Nyatanya, meski pintu masuk dari bagian belakang sudah dibangun pakai tembok tebal dan tinggi, maling ternyata masih tetap merajalela. Sementara, drainase yang sudah dibangun tidak berfungsi. Karena, lapangan yang ditumbuhi rumput gajah juga semakin tinggi.
Bersamaan dengan tumbuhnya semak belukar yang sekarang sudah setinggi pinggang orang dewasa. Karenanya, lapangan sudah mulai dapat dimanfaatkan tahun 2022 untuk bermain sepakbola, hanya isapan jempol belaka.
PEMBIARAN
Informasi yang dihimpun, aksi pencurian diduga kuat begitu massif. Untuk melakukan aksi pencuria khususnya tiang baja, tentu menggunakan peralatan khusus. Sementara, dua orang pelaku yang telah divonis 1,5 tahun dan 2 tahun penjara, tampaknya belum menjawab masalah pencurian material secara keseluruhan.
Karena, dari hasil persidangan beberapa hari lalu di Pengadilan Negeri Kota Siantar, barang bukti berupa besi baja dari keduanya hanya 300 Kg. Karena, material khusus tentang besi baja diperkirakan puluhan ton atau bahkan lebih.
Karena banyak tiang baja ludes disikat maling, kondisi tribun sangat rentan roboh. Kalau itu terjadi, bukan tidak mungkin akan mengambil korban karena posisinya hanya sekitar 2 meter dari jalan umum atau 10 meter dari rumah masyarakat sekitar.
Dengan mengamati kondisi stadion Sang Naualuh yang sudah hancur-hancuran, tentu tidak perlu lagi mengatakan kata “kalau” atau “seandainya begini dan begitu”. Sebab, nasi sudah menjadi bubur. Apalagi sulit mengembalikan anggaran puluhan miliar yang sudah hanyut kelaut. Namun, yang menjadi pertanyaan besar, siapa bertanggungjawab atas semua itu?
PENUTUP
Harapan warga Siantar untuk memiliki stadion yang megah memang masih seperti harapan “di awang-awang”. Namun, harapan itu mungkin akan turun ke bumi karena Pemko Siantar sudah mengajukan proposal untuk perolehan anggaran sebesar Rp 80 miliar kepada Kementiran Olahraga.
Namun, kalau harapan yang “di awang-awang” itu tetap tidak turun ke bumi atau malah hilang dan tak tampak lagi dari pandangan, kebangkitan persepakbolaan Siantar yang sedang mati suri merupakan fakta tak terbantahkan. Bahkan, bukan tidak mungkin akan mati benaran.