SIANTAR, SENTERNEWS
Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 1159 yang prosesnya diterbitkan BPN Kota Siantar tahun 1998 di Jalan Ade Irma Suryani, Kelurahan Melayu, Kecamatan Siantar Utara, Kota Siantar, ternyata tidak didukung bukti yang kuat. Sementara, warga malah diminta mengosongkan lahan.
Fakta tersebut terungkap saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I DPRD Siantar yang dihadiri warga, Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kota Siantar, mewakili PTPN IV, Sapol PP dan Bagian Hukum Pemko Siantar, di ruang Fraksi Gabungan DPRD Siantar, Senin (20/5/2024).
Awalnya, pihak PTPN IV melalui juru bicara Michael Purba mengatakan, permasalahan tersebut sudah ditindaklanjuti pihak Kejaksaan Negeri. Bahkan, masyarakat telah dipanggil dan semula bersedia menerima uang pindah. Lengkap dengan berita. Namun akhirnya menolak.
“Setiap warga yang dipanggil didampingi lurah. Tetapi, rencana pengosongan tidak terlaksana,” kata Micahel Purba sembari mengatakan bahwa pihak PTPN IV sudah menyediakan anggaran santunan kepada warga agar pindah dari lokasi sebesar Rp 651 juta lebih. Dan soal prosedur pengambil alihan lahan dikatakan sudah sesuai ketentuan. Apalagi ada surat tahun 2008 dari PTPN IV untuk pengosongan lahan.

Soal tudingan lahan yang di tempati warga tidak pernah ada bangunan, dibantah karena saat peralihan lahan dari PTPN VIII ke PTPN IV, di lokasi ada gudang penyimpanan teh dari Kebun Bah Butong dan Sidamanik, Kabupaten Simalungun untuk diangkut kereta api ke Belawan.
Pernyataan pihak PTPN ternyata menuai pertanyaan dari para personel Komisi I. Bahkan Ketua Komisi I Andika Prayogi mengatakan, mengapa saat pihak PTPN IV ingin menyelesaikan masalah, tidak pernah melibatkan DPRD Siantar.
“Kalau warga dipanggil ke kejaksaan, bisa saja mereka was-was karena menghadap aparat berpakaian dinas. Tapi, apakah soal gudang di atas lahan itu, ada dokumentasinya. Karena warga mengatakan tidak pernah ada gudang,” kata Andika Prayogi.
Saat dipertanyakan soal dokumentasi, pihak PTPN mengatakan tidak dibawa dan minta waktu. Tapi, soal gudang menurut pihak PTPN, ada mantan karyawan tinggal di lokasi dan mengajukan permohonan agar lahan yang ditempatinya dibebaskan. Tetapi tidak diizinkan PTPN.
Menanggapi pernyataan PTPN, Ilhamsyah Sinaga dari Komisi I mempertanyakan HGB PTPN yang dikeluarkan BPN tahun 1998 sebagai perpanjang HGB tahun 2018 yang luas lahannya justru berbeda.
“Bagaimana sejarah sebelum HGB pertama tahun 1998 itu terbit. Bagaimana lahan HGB yang dijual warga kepada PT Obor,” kata Ilhamsyah yang juga mempertanyakan bagaimana sejarah sebelum terbitnya HGB tahun 1998 yang tidak diketahui juru bicara PTPN IV .
Sementara, pihak PTPN mengatakan sejaraha HGB PTPN IV itu merupakan peralihan dari PTPN VIII. “HGB itu diterbitkan pihak BPN,” kata Michael Purba.
Sedangkan soal jual beli lahan kepada PT Obor, PTPN IV dikatakan pernah menggugat BPN ke PTUN dan PTPN menang. Namun, BPN mengajukan banding dan memang. “Saat ini PTPN mengumpulkan bukti baru untuk mengajukan peninjauan kembali,” kata Micahael Purba.
Dari pernyataan PTPN itu, Tongam Pangaribuan dari Komisi I mengaku heran mengapa PTPN tidak memiliki dokumen peralihan lahan dari PTPN VIII sebelum terbit HGB pertama tahun 1998. Hal lain yang dianggapa janggal, pihak PTPN juga tidak punya data lengkap tentang siapa karyawan yang pernah menjaga gudang teh yang disebut PTPN. “Peralihan lahan pasti diarsipkan. Betulkah ada gudang? Siapa nama penjaga gudang itu?” Tanya Tongam.
Sementara, terkait terbitnya HGB kedua tahun 2018 yang saat itu tidak ada bangunan seperti disampaikan pihak BPN melalui Maruli Nainggolan, justru dipertanyakan Daulat Sihombing dari Sumut Watch sebagai pendamping warga. “Kalau tidak ada bangunan kenapa bisa terbit HGB?” katanya bertanya.
Di penghujung pertemuan Daulat Sihombing menyatakan kepada Komisi I DPRD Siantar bahwa beberapa kejanggalan telah terungkap. Untuk itu, isu-isu soal penggusuran terhadap warga yang belum dapat dipertanggungjawabkan harus dicegah dan dihentikan.
“Selanjutnya, kami minta RDP ini ada lanjutan untuk mengetahui kerangka masalah sebenarnya. Terakhir, DPRD dapat menggunakan hak politik untuk menelisik kemungkinan adanya tindakan pidana seperti adanya mavia tanah itu,” kata Daulat Sihombing.
Sebelum menutup RDP, Ketua Komisi I DPRD Siantar, AndikaPrayogi mengatakan, DPRD Siantar pada dasarnya hanya memvasilitasi dan untuk mengetahui bagaimana akar masalah yang sebenarnya. Karena, permasalahan tersebut tidak pernah melibatkan DPRD Siantar.
“Kalau pihak PTPN mengatakan untuk menyelamatkan asset negara silahkan saja. Tapi, perlu diketahui, masyarakat juga harus diselamatkan. Karena mereka juga rakyat Indonesia, mereka bukan rakyat Vietnam,” tegas AndikaProyogi.
Lebih lanjut dikatakan, hasil RDP akan kita sampaikan kepada pimpinan, Selanjutnya, kalau dilakukan RDP lanjutan, pihak PTPN dan BPN harus melengkapi data-data,” kata Andika Prayogi yang kemudian menutup RDP. (In)