SIANTAR, SENTER NEWS
Upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disebut melakukan perampasan terhadap lahan dan rumah RE Siahaan, Walikota Siantar Priode 2005-2010 di Jalan Sutomo, Kota Siantar, disebut upaya melawan hukum dan illegal.
Pernyataan itu disampaikan Saksi Ahli Hukum, DR Berlian Simarmata SH MHUM saat memberi keterangan pada sidang RE Siahaan yang menggugat KPK sebesar Rp 54 miliar. Dipimpin Majelis Hakim Ketua, Reni Pitua Ambarita didampingi Hakim Anggota Katerina dan Naswi Firdaus, Rabu (10/1/2024).
Turut dihadiri Penggugat RE Siahaan melalui Penasehat Hukum, Daulat Sihombing dan Miduk Panjaitan. Kemudian, KPK (Tergugat I), Tergugat II Menteri Keuangan RI cq. Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Kota Siantar tidak hadir. Sedangkan Tergugat III BPN Kota Siantar hadir.
Pada persidangan yang ditandai beberapa intrupsi dari pihak KPK yang mengajukan beberapa pertanyaan di luar materi perkara sehingga dinilai tidak ada relevansinya membuat persidangan tampak alot. Bahkan, Hakim minta supaya pihak KPK menjelaskan pertanyaan secara tegas atau tidak terlalu panjang agar mudah dimengerti.
Awalnya, Penasehat Hukum Penggugat mempertanyakan empat materi penguatan materi pokok gugatan. Di antaranya, apakah lahan dan rumah RE Siahaan boleh dieksikusi lagi sedangkan putusan hukum sudah memiliki kekuatan hukum tetap (Inkrah). Bahkan, soal penyitaan itu tidak ada dalam tuntutan maupun putusan.
Kemudian, terkait objek penyitaan yang disebut perampasan lahan dan bangunan yang tidak termasuk dalam tindak pidana korupsi serta adanya hukuman tambahan selama 4 tahun karena Terpidana (Penggugat) tidak mampu membayar uang pengganti Rp 7,7 miliar. Namun, bangunan dan lahan milik RE Siahaan tetap dieksekusi.
Padahal, RE Siahaan menjalani masa hukuman selama 12 tahun. Rinciannya vonis pokok 8 tahun penjara dan human tambahan 4 tahun karena tidak sanggup membayar uang pengganti. Selanjutnya, apa dasar hukum perampasan padahal Rancangan Undang-Undang Perampasan Tindak Pidana Korupsi belum disahkan karena masih diajukan kepada Presiden pada tahun 2022.
Menjawab berbagai pertanyaan itu, ahli hukum yang memberi keterangan mengatakan, apabila uang pengganti sudah dibayar dan sudah menjalani hukuman tambahan selama 4 tahun, tidak akan ada lagi pembayaran uang pengganti.
“Syarat administrasi putusan, tidak boleh keluar dari putusan yang ditetapkan. Artinya, kalau putusan delapan tahun dan tidak membayar uang pengganti harus menjalani hukuman 4 tahun, tidak ada lagi uang pengganti karena itu sudah dikonversi,” tegas dosen Unika Medan itu.
Hal lain yang dipertanyakan, KPK menurut Penasehat Hukum Penggugat dua kali melakukan eksekusi dan sudah menjalani hukuman pokok serta hukuman tambahan, malah lahan dan rumah RE Siahaan disita atau dirampas. Padahal, putusan sudah inkrah.
Pada kesempatan tersebut, Penasehat Hukum Penggugat memperlihatkan adanya putusan majelis hakim yang dirobah dengan menambah redaksi putusan setelah inkrah. Sehingga, terjadi perampasan lahan dan rumah RE Siahaan sebagai harta warisan dari keluarga istri. Dan, dimiliki sebelum RE Siahaan menjabat sebagai Walikota Siantar. Artinya, lahan dan rumah itu bukan bagian dari tindak pidana korupsi.
“Putusan yang sudah inkrah tidak boleh dirobah. Kalau itu terjadi, ada upaya melawan hukum dan penyitaan lahan dan rumah yang dilakukan KPK illegal. Karena awalnya sudah salah, berarti selanjutnya juga salah,” kata ahli hukum itu lagi kembali menegaskan setelah putusan yang inkrah dieksikusi, tidak boleh lagi ada eksikusi.
Setelah berbagai pertanyaan dari Penasehat Hukum Penggugat dijawab, KPK malah mempertanyakan soal remisi yang diberikan terhadap RE Siahaan. Saat itulah Penasehat Hukum Penggugat, Miduk Panjaitan mengajukan intrupsi karena yang dipertanyakan KPK tidak relevan dengan gugatan.
Apalagi ada aturan yang mengatakan bahwa remisi boleh diberikan kepada terpidana kasus korupsi. Kalau pun ada peraturannya, itu setelah RE Siahaan selesai menjalani hukuman. Sehingga, peraturan tidak boleh berlaku mundur.
Persidangan yang berlangsung sekitar 3 jam lebih itu akhirnya selesai dan Majelis Hakim akan melanjutkan persidangan pada minggu depan dengan agenda mendengar keterangan saksi dari pihak tergugat.
Seperti diketahui, dalam gugatan RE Siahaan sebesar Rp 45 miliar dijelaskan, KPK sebagai Tergugat I dalam perbuatan melawan hukum dikatakan, pihak yang melakukan penyitaan atau perampasan terhadap objek tanah yang di atasnya bangunan milik RE Siahaan. Padahal, tidak ada dalam putusan pidana.
Tergugat II Menteri Keuangan RI cq. Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Kota Siantar, melakukan pelelangan terhadap objek rumah milik RE Siahaan atas permintaan KPK.
Terkait keterlibatan Tergugat III BPN Kota Siantar, mengubah sertifikat tanah milik RE
Siahaan atas nama Esron Samosir sebagai Tergugat IV yang sejak awal tidak pernah hadir, pada persidangan, sebagai pembeli atau pemenang lelang. (In)