SIANTAR, SENTERNEWS
Terkait Hak Guna Bangunan (HGB) milik PTPN IV di Jalan Ade Irma Suryani, Kelurahan Melayu, Kecamatan Siantar Utara, Kota Siantar dinilai ilegal. Sehingga, warga menolak uang tali asih dan menolak pindah.
Pernyataan itu disampaikan Jefri Pakpahan, pendamping masyarakat membacakan tentang “Posisi kasus perampasan tanah warga Ade Irma bersatu”. Didampingi Daulat Sihombing dari Sumut Wacth pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPRD Siantar, di Berlangsung di ruang Fraksi Gabungan DPRD Siantar, Senin (20/5/2024).
RDP turut menghadirkan Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kota Siantar, mewakili PTPN IV, Sapol PP dan Bagian Hukum Pemko Siantar.
Jefri Pakpahan menyatakan, lahan seluas 1.500 M2 berikut bangunan di atasnya, semula kawasan pemukiman Tentera Jepang yang semasa berkuasa mengambil perempuan- perempuan pribumi sebagai selir.
Setelah Indonesia Merdeka tahun 1945 dan Jepang kembali ke negaranya, kawasan tersebut “tak bertuan”. Namun secara defacto dikuasai para mantan selir tentara Jepang. Selanjutnya, dialihkan, diganti rugi, dan/ atau dipindah tangankan kepada pihak ketiga secara pribadi- pribadi.
Tersebutlah nama Almarhumah Sarah yang mengalihkan tanah dan rumahnya kepada saudaranya T. Harunsyah, dan Almarhumah Wak Engkong yang mengalihkan tanah dan rumahnya kepada Alm Salam Lubis.
Tahun 2008, eks perumahan tentara Jepang itu terbakar dan memusnahkan seluruh bangunan rumah tempat tinggal. Selanjutnya, warga membangun kembali rumah tempat tinggal dengan biaya sendiri tanpa ada halangan atau keberatan dari siapapun termasuk PTPN IV.
Ternyata, Jumat, tanggal 22 Maret 2024, Insari Masitha dan kawan-kawan yang menempati lahan, diberitahu PTPN IV bahwa tanah dan bangunan rumah itu, aset PTPN IV. Sesuai sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 1159, diterbitkan BPN Kota Siantar tahun 1998.
Berdasarkan alasan itu, aparat Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Siantar sebagai Pengacara Negara atas nama dan untuk kepentingan PTPN IV, meminta agar Insari Masitha Siregar dkk, segera mengosongkan rumah tempat tinggal mereka dengan kompensasi uang pindah atau digusur paksa jika menolak atau tak menerima uang pindah.
Dalam kondisi panik dan ketakutan, sejumlah warga Ade Irma sempat “menyerah” dan menandatangani surat pernyataan yang disiapkan Kejari Kota Siantar. Isinya bersedia mengosongkan rumah tempat tinggal mereka dan menerima kompensasi uang pindah.
“Namun sadar bahwa sertifikat HGB atas nama PTPN IV mengandung kejanggalan, warga kemudian memilih untuk menolak uang pindah,” imbuh Jefri.
Kejanggalan itu, objek sertifikat HGB adalah bangunan dan bukan tanah dan PTPN IV tidak pernah mendirikan atau memiliki bangunan di kawasan itu. Bahkan, Tahun 2012, seorang warga atas nama Rita Perangin- angin, menjual 2 unit persil tanah berikut rumah di atasnya kepada CV Obor. Meski ada gugatan dari PTPN IV, tetapi ditolak pengadilan.
Karenanya warga menilai, terbitnya Sertifikat HGB No 1159 patut dianggap illegal karena selain dibuat tanpa sepengetahuan warga, dibuat di atas bangunan dan tanah yang dikuasai warga secara terus menerus sejak tahun 1943 hingga sekarang,.
Hal lain, luas tanah berbeda dalam HGB Pertama dengan HGB Kedua (Perpanjangan) tahun 1998. Sementara, sejak warga bermukim di sana, PTPN IV tidak pernah mempunyai atau mendirikan bangunan di atas tanah. Bahkan, HGB tahun 1998 itu baru diketahui warga sekitar Juli 2023 atau 20 tahun lebih.
“Karenanya, sesuai Pasal 40 UUPA No. 5 Tahun 1960, HGB sebagaimana dimaksud telah hapus karena ditelantarkan,” kata Jefri yang membacakan pernyataan masyarakat dengan kuasa hukum/Pendamping Dr (C) Daulat Sihombing SH MH.
Pada RDP itu, Andika Prayogi Sinaga sebagai Ketua Komisi I DPRD Siantar akhirnya memberi kesempatan kepada berbagai pihak untuk memberi tanggapan dan pernyataan. (In)